Perpustakaan dan Adaptasi New Normal

Pandemi COVID-19 yang merebak sejak beberapa bulan belakangan telah mengubah tatanan kehidupan dari berbagai lini, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Perpustakaan pun turut terkena dampak dari wabah ini. Demi mencegah rantai penyebaran COVID-19, banyak perpustakaan di Indonesia yang kompak mengurangi bahkan meniadakan secara total layanan secara luring.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas bersama Kabinet Indonesia Maju, telah menginisiasi pelaksanaan new normal dengan tambahan protokoler kesehatan[1]. Mandat ini pun didukung dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Protokol Penularan COVID-19 di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberhasilan Usaha serta Surat Edaran Menteri PANRB No. 58 tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru. Munculnya kebijakan tersebut turut mengubah pula geliat perpustakaan ke depannya. Beberapa perpustakaan pun telah “menyambut” new normal dengan membuka layanan luring sejak 5 Juni 2020. Namun demikian, masih terdapat perpustakaan yang belum membuka layanannya dikarenakan kekhawatiran akan kesehatan pengelola perpustakaan maupun pemotongan sebagian besar dana pengelolaan perpustakaan yang dialokasikan untuk penanganan COVID-19.

Berangkat dari isu tersebut, FPKI (Forum Perpustakaan Khusus Indonesia) menyelenggarakan webinar bertajuk Kenormalan Baru Perpustakaan di Masa Pandemi COVID-19. Webinar dibuka oleh Bapak Chaidir Amir selaku Kepala Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus Sekjen FPKI. Dilanjutkan dengan knowledge sharing dari Ibu Eka Meifrina selaku Kepala Perpustakaan BPPT sekaligus Ketua Umum FPKI dan Bapak Muhammad Bahrudin selaku Pustakawan Data Perpustakaan BSN sekaligus Ketua 1 FPKI.

Namun demikian, kedua narasumber sepakat bahwa walaupun berada dalam situasi pandemi seperti sekarang, pustakawan dan perpustakaan harus dapat tetap survive dan bermanfaat bagi para pemustaka. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah membuka layanan peminjaman secara daring, memanfaatkan sosial media untuk menjadi reference librarian dan berinteraksi dengan pemustaka, dan mendigitalisasi secara mandiri koleksi konten lokal. Adapun hikmah dari penerapan new normal seperti ini adalah pustakawan dapat mengerjakan job desk-nya secara bersamaan dengan peningkatan kompetensi dengan berpartisipasi dalam webinar.

Membuka kembali layanan luring boleh saja untuk dilakukan, dengan catatan selalu perhatikan protokol kesehatan new normal sesuai dengan anjuran pemerintah. Meski begitu, hakikatnya pergerakan layanan dari luring ke daring merupakan cita-cita tiap perpustakaan sedari dulu. Oleh karena itu, perpustakaan dan pustakawan harus siap melaksanakan transformasi digital dalam melayani pemustaka.


Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat : A Short Review

  • Judul Asli     : The Subtle Art of Not Giving a F*ck
  • Penulis          : Mark Manson
  • Penerbit        : Grasindo
  • ISBN              : 978-602-452-698-6

Apapun masalah Anda, konsepnya sama: selesaikan masalah, lalu berbahagialah. Sayangnya bagi banyak orang, rasanya hidup tidak sesederhana itu. Itu karena mereka menghadapi masalah dengan paling tidak satu dari dua cara berikut: penyangkalan atau mentalitas korban (hal. 37)”

Buku ini merupakan karya terjemahan atas “The Subtle Art of Not Giving F*ck”. Saking populernya buku ini, New York Times dan Globe and Mail sempat menganugerahinya sebagai buku terlaris. Gaya bahasa Mark Manson pada buku bergenre pengembangan diri atau self-motivation ini terbilang cukup nyeleneh. Bagaimana tidak, sang penulis asli mampu untuk memberikan “wejangan” mengenai cara pandang kita dalam melihat kelemahan, makna kebahagiaan, cara bangkit dari kegagalan, dan sebagainya dengan diksi yang menyebalkan dan menyakitkan namun straightforward. Ditambah lagi versi terjemahan ini sangat dapat menyampaikan pesan yang sama dengan versi Bahasa Inggrisnya.

Beberapa hal yang membuat Admin tertarik dengan buku ini yaitu pesan moralnya yang enteng tapi ngena banget. Misalnya, kita sebagai manusia harus mampu untuk mengakui kekurangan. Ada kalanya kita mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu, bisa jadi karena kurangnya usaha atau skill kita dalam menjalaninya. Akan tetapi, dengan mengakui kekurangan dan berdamai dengan diri sendiri lah cara kita untuk dapat selangkah lebih maju dan meraih kesuksesan itu.

Lalu, bersikap positif. Mungkin Rekan ASN sudah tidak asing dengan frasa “positive thinking”. Tapi, apakah kita mengetahui apa itu berpikir positif? Atau mampukah kita berpikir positif? Nah, Manson dala tulisannya juga mengajak para pembaca untuk mengenali dan memulai berpikir positif, karena menyalurkan emosi negatif dengan berperilaku negatif justru tidak akan menyelesaikan masalah. Toh, dengan usaha dan doa yang tulus, everything’s gonna be ok, kan Rekan ASN? Hehehe.

Sesuai dengan judul bukunya, kita juga harus mulai menerapkan sikap “bodo amat”. Eits, bodo amat di sini jangan diartikan sebagai cuek ya, tapi kenyamanan menjadi sesuatu yang berbeda. Ini karena pada dasarnya semua manusia diciptakan dengan karakter yang unik dan bakat yang dapat diasah serta passion akan suatu hal.

Overall, buku ini sangat recommended untuk dibaca, terutama untuk parapecinta genre self-motivation. Stay productive, stay sane, happy reading! 😊

Pustakawan dan Penulisan Ilmiah

Jabatan fungsional pustakawan adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melaksanakan kegiatan kepustakawanan. Salah satu hal yang menjadi kewajiban pustakawan adalah membuat kajian kepustakawanan atau karya ilmiah, yang juga merupakan amanah dari PermenPANRB No. 9 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Kenyataannya, banyak pustakawan yang masih enggan untuk memulai menulis.

Kondisi tersebut sejalan dengan fakta dari Scopus pada Juli 2019 yang menyatakan bahwa dari 20% jurnal di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, hanya kurang dari 10% dari tiap-tiap artikel jurnal disumbangkan oleh pustakawan. Entah karena dihadapkan pada dilema “kewajiban pemenuhan angka kredit” dengan mengerjakan rutinitas yang bersifat teknis sehari-hari ataupun karena gelagapan, bingung harus mulai menulis apa dan dari mana. Oleh karena isu tersebut, FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia) bersama Perpustakaan Nasional menyelenggarakan Online Workshop: Strategi Penulisan Artikel di Masa Pandemi COVID-19. Workshop kali ini begitu istimewa karena diadakan secara daring, sebagaimana anjuran dari pemerintah mengenai PSBB.

Webinar dibuka oleh Bapak Imam Yudi selaku Ketua FPPTI. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi strategi penulisan dari Bapak Wiji Suwarno, Doktor di bidang Ilmu Perpustakaan sekaligus Presiden ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia). Ikatlah ilmu dengan tulisan, begitu Bapak Wiji berujar di awal pembukaan webinar seraya melanjutkan materi. Beberapa alasan yang menjadi trigger kesulitan pustakawan dalam penulisan ilmiah. Pertama, pustakawan masih terkunci dalam paradigma rutinitas yang bersifat teknis. Bahkan, pustakawan di beberapa instansi juga dituntut harus multitasking dengan melaksanakan pekerjaan yang jauh di luar bidangnya sehingga hal tersebut dinilai menjadi distraksi. Dengan demikian, pustakawan merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menulis.

Lebih lanjut, pustakawan tidak memiliki wawasan yang cukup. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal seperti kurang membaca sehingga tidak memiliki referensi yang reliable, serta daya dukung struktural dan kultural yang masih lemah. Lalu, bagaimana caranya agar dapat menyusun tulisan secara efektif dan efisien? Buatlah ide besar terlebih dahulu. Ide bisa datang kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, ketika ide datang kita harus segera mencatatkannya di notebook atau catat di ponsel. Setelah itu, buat tujuan penulisan, agar menjadi patokan penelitian atau penyusunan nantinya. Terakhir, buat sub yang terkait dengan tujuan, misalnya dari sisi budaya, sosial, dan sebagainya. Sederhananya, kita membuat mind map dalam perancangan tulisan tersebut agar efektif.

Kemudian, bagaimana trik untuk menyelesaikan tulisan tersebut tanpa embel-embel writer’s block? Beberapa cara yang dikemukakan oleh Bapak Wiji yaitu meluangkan waktu, menghindari menulis sambil mengoreksi, relax atau take a break jika sudah jenuh, mengoreksi setelah selesai menulis, dan memperbanyak referensi. Kalau sudah banyak referensinya, ada kecenderungan terjadi plagiasi, bagaimana supaya terhindar dari plagiarisme? Jangan plagiat! Perbanyak menggali informasi tentang cara mengutip yang benar dan sesuai kaidah penulisan ilmiah serta paraphrasing. Hindari perasaan inferior atau skeptis terhadap tulisan sendiri. Bagus atau tidaknya tulisan kita, biarlah pembaca yang menilai. Selain itu, dengan meningkatkan frekuensi penulisan, lama kelamaan kita jadi terbiasa membaca serta menuangkan ide dari bacaan tersebut pada tulisan. Alah bisa karena biasa.

Sejatinya, pustakawan tidak mungkin tidak berpengetahuan. Lingkungan pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan sumber informasi yang sahih menjadikan pustakawan harus terus menerus upgrade keilmuannya, salah satunya dengan menulis. Menulis adalah salah satu cara untuk mengikat ilmu, mengubah ilmu yang abstrak berada di pikiran untuk ditransfer pada tuan dan puan.  Sebab tanggung jawab menyampaikan kebermanfaatan itu adalah mutlak. Jadi, jangan sampai seperti ayam yang mati di lumbung padi.

The Magical Side of Library : Resensi Singkat Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken

Penulis          : Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup

Penerjemah : Ridwana Saleh
Penerbit        : Mizan
ISBN              : 978-979-433-924-4

The Magic Library atau versi terjemahannya yaitu Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken berkisah tentang dua orang sepupu bernama Nils dan Berit. Nils tinggal di Oslo, sedangkan Berit menetap di Fjaerland. Walaupun sama-sama berlokasi di Norwegia, domisili mereka terpaut ratusan kilometer. Sehingga, setelah pertemuan terakhir di liburan musim panas,  mereka sepakat untuk tetap keep in touch via surat menyurat. Mereka menyebut alat komunikasinya itu “buku-surat”. Anehnya, buku-surat ini diincar oleh seorang wanita misterius yang bernama Bibbi Bokken. Ia menawarkan diri untuk membayar buku-surat itu untuk suatu hal yang erat kaitannya dengan perpustakaan ajaib dan buku-buku yang diterbitkan di dalamnya. Hal ini pun mengundang rasa penasaran Nils dan Berit untuk mengulik siapa sebenarnya Bibbi Bokken dan apa sebenarnya yang diinginkan olehnya.

Dalam buku setebal 284 halaman ini, pembaca diajak untuk berpetualang bersama Nils dan Berit dalam membuka tabir “perpustakaan ajaib” Bibbi Bokken ini. Terdapat banyak insights mengenai hal-hal yang berkaitan erat dengan perpustakaan dan literasi, seperti sejarah mesin percetakan, sistem klasifikasi di perpustakaan, perpustakaan unik di Norwegia, dan lain sebagainya yang menarik untuk diikuti. Melalui cerita yang dinarasikan ketiga tokoh utama dalam buku ini, Gaarder dan Hagerup juga mengajak para pembaca untuk berimajinasi tanpa batas untuk terus meningkatkan kreativitas dan rasa ingin tahu.

Uniknya lagi, buku ini hanya terdiri dari dua bab. Bab yang pertama diberi judul buku-surat, sedangkan bab kedua bertajuk perpustakaan ajaib Bibbi Bokken. Soal terjemahan, kualitas Penerbit Mizan memang sudah tidak diragukan lagi. Pemilihan diksi terjemahan yang apik mempermudah pembaca memahami isi dari buku ini sehingga tidak terasa kalau buku ini merupakan karya terjemahan. Overall, buku ini sangat recommended untuk dibaca, terutama untuk para fantasy-lovers.

Stay productive, stay sane, happy reading! 😊

Bosan #StayAtHome? Baca Supernova : Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Yuk!

Bosan #StayAtHome? Baca Supernova : Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Yuk!


Judul: Supernova Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh

Pengarang: Dewi “Dee” Lestari

Tahun terbit: 2012

Penerbit: Bentang Pustaka

Tempat Terbit: Yogyakarta

ISBN: 978-602-8811-72-9

Kesatria melesat menuju kehancuran.

Sementara sang Bintang turun untuk dapatkan sang Putri

Kesatria yang malang.

Sebagai balasannya, di langit kutub dilukiskan aurora.

Untuk mengenang kehalusan dan ketulusan hati Kesatria. (hlm. 37)

Novel bergenre fiksi besutan Dewi “Dee” Lestari ini pertama kali rilis pada tahun 2001. Fiksi ini mengisahkan tentang Reuben dan Dimas, dua orang WNI yang menimba ilmu di Amerika Serikat.  Dimas kuliah di George Washington University, dan Reuben di Johns Hopkins Medical School. Mereka kemudian bertemu dalam sebuah peseta. Dalam pertemuan di pesta tersebut mereka telah berikrar akan membuat satu roman masterpiece yang menjembatani sains dan sastra. Satu tulisan atau riset yang membantu menjembatani semua percabangan sains. Roman yang berdimensi luas dan mampu menggerakkan hati banyak orang. Roman itu lalu diberi nama “Kisah tentang Kesatria Puteri dan Bintang Jatuh”.

Tak disangka, cerita tersebut ternyata ada di kehidupan nyata berlatar belakang kehidupan urban di Jakarta. Seorang eksekutif muda, Ferre, pribadi yang kuat bak baju besi, jatuh cinta pada seorang jurnalis bernama Rana. Rana digambarkan sebagai seorang wanita karir yang sukses, namun hidup dalam keteraturan dan keterpaksaan dalam menjalani biduk rumah tangga dengan suaminya, Arwin. Ia merasa bak seorang putri yang terkungkung dalam sangkar emas. Sementara di bagian lain ada Diva, seorang model papan yang indah bagai bintang jatuh, yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan Ferre. Dalam fiksi tersebut, Reuben dan Dimas, Diva, Ferre, Rana serta Arwin akhirnya “bertemu” dalam sebuah situs blog yang agresif, puitis, dan fenomenal bernama Supernova.

Membaca buku setebal 322 halaman ini pada awalnya mungkin sedikit membingungkan. Di sini penulis banyak menggunakan istilah-istilah yang tidak lazim. Sebut saja bifurkasi, serotonin, dan sebagainya. Untungnya, Dee membubuhkan footnote perihal arti dari kata-kata yang tak lazim tersebut agar pembaca mudah mengerti makna yang hendak disampaikan. Kekuatan masing-masing karakter dan plot yang sistematis pun turut menjadi fondasi yang memperkokoh jalannya cerita serta pantas untuk menjadi stepping stone bagi sekuel Supernova yakni Akar, Petir, Partikel, Gelombang, hingga puncaknya Intelegensi Embun Pagi. Tak ayal di tahun 2014 pun novel ini diangkat ke layer lebar oleh Soraya Intercine Films. Btw, novel ini tersedia di Perpustakaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan #RekanASN dapat menelusur ketersediaannya di https://perpus.menpan.go.id/opac/detail-opac?id=4030 . Selamat membaca!