Pustakawan dan Penulisan Ilmiah

Jabatan fungsional pustakawan adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melaksanakan kegiatan kepustakawanan. Salah satu hal yang menjadi kewajiban pustakawan adalah membuat kajian kepustakawanan atau karya ilmiah, yang juga merupakan amanah dari PermenPANRB No. 9 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Kenyataannya, banyak pustakawan yang masih enggan untuk memulai menulis.

Kondisi tersebut sejalan dengan fakta dari Scopus pada Juli 2019 yang menyatakan bahwa dari 20% jurnal di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, hanya kurang dari 10% dari tiap-tiap artikel jurnal disumbangkan oleh pustakawan. Entah karena dihadapkan pada dilema “kewajiban pemenuhan angka kredit” dengan mengerjakan rutinitas yang bersifat teknis sehari-hari ataupun karena gelagapan, bingung harus mulai menulis apa dan dari mana. Oleh karena isu tersebut, FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia) bersama Perpustakaan Nasional menyelenggarakan Online Workshop: Strategi Penulisan Artikel di Masa Pandemi COVID-19. Workshop kali ini begitu istimewa karena diadakan secara daring, sebagaimana anjuran dari pemerintah mengenai PSBB.

Webinar dibuka oleh Bapak Imam Yudi selaku Ketua FPPTI. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi strategi penulisan dari Bapak Wiji Suwarno, Doktor di bidang Ilmu Perpustakaan sekaligus Presiden ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia). Ikatlah ilmu dengan tulisan, begitu Bapak Wiji berujar di awal pembukaan webinar seraya melanjutkan materi. Beberapa alasan yang menjadi trigger kesulitan pustakawan dalam penulisan ilmiah. Pertama, pustakawan masih terkunci dalam paradigma rutinitas yang bersifat teknis. Bahkan, pustakawan di beberapa instansi juga dituntut harus multitasking dengan melaksanakan pekerjaan yang jauh di luar bidangnya sehingga hal tersebut dinilai menjadi distraksi. Dengan demikian, pustakawan merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menulis.

Lebih lanjut, pustakawan tidak memiliki wawasan yang cukup. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal seperti kurang membaca sehingga tidak memiliki referensi yang reliable, serta daya dukung struktural dan kultural yang masih lemah. Lalu, bagaimana caranya agar dapat menyusun tulisan secara efektif dan efisien? Buatlah ide besar terlebih dahulu. Ide bisa datang kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, ketika ide datang kita harus segera mencatatkannya di notebook atau catat di ponsel. Setelah itu, buat tujuan penulisan, agar menjadi patokan penelitian atau penyusunan nantinya. Terakhir, buat sub yang terkait dengan tujuan, misalnya dari sisi budaya, sosial, dan sebagainya. Sederhananya, kita membuat mind map dalam perancangan tulisan tersebut agar efektif.

Kemudian, bagaimana trik untuk menyelesaikan tulisan tersebut tanpa embel-embel writer’s block? Beberapa cara yang dikemukakan oleh Bapak Wiji yaitu meluangkan waktu, menghindari menulis sambil mengoreksi, relax atau take a break jika sudah jenuh, mengoreksi setelah selesai menulis, dan memperbanyak referensi. Kalau sudah banyak referensinya, ada kecenderungan terjadi plagiasi, bagaimana supaya terhindar dari plagiarisme? Jangan plagiat! Perbanyak menggali informasi tentang cara mengutip yang benar dan sesuai kaidah penulisan ilmiah serta paraphrasing. Hindari perasaan inferior atau skeptis terhadap tulisan sendiri. Bagus atau tidaknya tulisan kita, biarlah pembaca yang menilai. Selain itu, dengan meningkatkan frekuensi penulisan, lama kelamaan kita jadi terbiasa membaca serta menuangkan ide dari bacaan tersebut pada tulisan. Alah bisa karena biasa.

Sejatinya, pustakawan tidak mungkin tidak berpengetahuan. Lingkungan pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan sumber informasi yang sahih menjadikan pustakawan harus terus menerus upgrade keilmuannya, salah satunya dengan menulis. Menulis adalah salah satu cara untuk mengikat ilmu, mengubah ilmu yang abstrak berada di pikiran untuk ditransfer pada tuan dan puan.  Sebab tanggung jawab menyampaikan kebermanfaatan itu adalah mutlak. Jadi, jangan sampai seperti ayam yang mati di lumbung padi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *