Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat : A Short Review

  • Judul Asli     : The Subtle Art of Not Giving a F*ck
  • Penulis          : Mark Manson
  • Penerbit        : Grasindo
  • ISBN              : 978-602-452-698-6

Apapun masalah Anda, konsepnya sama: selesaikan masalah, lalu berbahagialah. Sayangnya bagi banyak orang, rasanya hidup tidak sesederhana itu. Itu karena mereka menghadapi masalah dengan paling tidak satu dari dua cara berikut: penyangkalan atau mentalitas korban (hal. 37)”

Buku ini merupakan karya terjemahan atas “The Subtle Art of Not Giving F*ck”. Saking populernya buku ini, New York Times dan Globe and Mail sempat menganugerahinya sebagai buku terlaris. Gaya bahasa Mark Manson pada buku bergenre pengembangan diri atau self-motivation ini terbilang cukup nyeleneh. Bagaimana tidak, sang penulis asli mampu untuk memberikan “wejangan” mengenai cara pandang kita dalam melihat kelemahan, makna kebahagiaan, cara bangkit dari kegagalan, dan sebagainya dengan diksi yang menyebalkan dan menyakitkan namun straightforward. Ditambah lagi versi terjemahan ini sangat dapat menyampaikan pesan yang sama dengan versi Bahasa Inggrisnya.

Beberapa hal yang membuat Admin tertarik dengan buku ini yaitu pesan moralnya yang enteng tapi ngena banget. Misalnya, kita sebagai manusia harus mampu untuk mengakui kekurangan. Ada kalanya kita mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu, bisa jadi karena kurangnya usaha atau skill kita dalam menjalaninya. Akan tetapi, dengan mengakui kekurangan dan berdamai dengan diri sendiri lah cara kita untuk dapat selangkah lebih maju dan meraih kesuksesan itu.

Lalu, bersikap positif. Mungkin Rekan ASN sudah tidak asing dengan frasa “positive thinking”. Tapi, apakah kita mengetahui apa itu berpikir positif? Atau mampukah kita berpikir positif? Nah, Manson dala tulisannya juga mengajak para pembaca untuk mengenali dan memulai berpikir positif, karena menyalurkan emosi negatif dengan berperilaku negatif justru tidak akan menyelesaikan masalah. Toh, dengan usaha dan doa yang tulus, everything’s gonna be ok, kan Rekan ASN? Hehehe.

Sesuai dengan judul bukunya, kita juga harus mulai menerapkan sikap “bodo amat”. Eits, bodo amat di sini jangan diartikan sebagai cuek ya, tapi kenyamanan menjadi sesuatu yang berbeda. Ini karena pada dasarnya semua manusia diciptakan dengan karakter yang unik dan bakat yang dapat diasah serta passion akan suatu hal.

Overall, buku ini sangat recommended untuk dibaca, terutama untuk parapecinta genre self-motivation. Stay productive, stay sane, happy reading! 😊

Pustakawan dan Penulisan Ilmiah

Jabatan fungsional pustakawan adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melaksanakan kegiatan kepustakawanan. Salah satu hal yang menjadi kewajiban pustakawan adalah membuat kajian kepustakawanan atau karya ilmiah, yang juga merupakan amanah dari PermenPANRB No. 9 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Kenyataannya, banyak pustakawan yang masih enggan untuk memulai menulis.

Kondisi tersebut sejalan dengan fakta dari Scopus pada Juli 2019 yang menyatakan bahwa dari 20% jurnal di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, hanya kurang dari 10% dari tiap-tiap artikel jurnal disumbangkan oleh pustakawan. Entah karena dihadapkan pada dilema “kewajiban pemenuhan angka kredit” dengan mengerjakan rutinitas yang bersifat teknis sehari-hari ataupun karena gelagapan, bingung harus mulai menulis apa dan dari mana. Oleh karena isu tersebut, FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia) bersama Perpustakaan Nasional menyelenggarakan Online Workshop: Strategi Penulisan Artikel di Masa Pandemi COVID-19. Workshop kali ini begitu istimewa karena diadakan secara daring, sebagaimana anjuran dari pemerintah mengenai PSBB.

Webinar dibuka oleh Bapak Imam Yudi selaku Ketua FPPTI. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi strategi penulisan dari Bapak Wiji Suwarno, Doktor di bidang Ilmu Perpustakaan sekaligus Presiden ISIPII (Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia). Ikatlah ilmu dengan tulisan, begitu Bapak Wiji berujar di awal pembukaan webinar seraya melanjutkan materi. Beberapa alasan yang menjadi trigger kesulitan pustakawan dalam penulisan ilmiah. Pertama, pustakawan masih terkunci dalam paradigma rutinitas yang bersifat teknis. Bahkan, pustakawan di beberapa instansi juga dituntut harus multitasking dengan melaksanakan pekerjaan yang jauh di luar bidangnya sehingga hal tersebut dinilai menjadi distraksi. Dengan demikian, pustakawan merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menulis.

Lebih lanjut, pustakawan tidak memiliki wawasan yang cukup. Ini bisa disebabkan karena beberapa hal seperti kurang membaca sehingga tidak memiliki referensi yang reliable, serta daya dukung struktural dan kultural yang masih lemah. Lalu, bagaimana caranya agar dapat menyusun tulisan secara efektif dan efisien? Buatlah ide besar terlebih dahulu. Ide bisa datang kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, ketika ide datang kita harus segera mencatatkannya di notebook atau catat di ponsel. Setelah itu, buat tujuan penulisan, agar menjadi patokan penelitian atau penyusunan nantinya. Terakhir, buat sub yang terkait dengan tujuan, misalnya dari sisi budaya, sosial, dan sebagainya. Sederhananya, kita membuat mind map dalam perancangan tulisan tersebut agar efektif.

Kemudian, bagaimana trik untuk menyelesaikan tulisan tersebut tanpa embel-embel writer’s block? Beberapa cara yang dikemukakan oleh Bapak Wiji yaitu meluangkan waktu, menghindari menulis sambil mengoreksi, relax atau take a break jika sudah jenuh, mengoreksi setelah selesai menulis, dan memperbanyak referensi. Kalau sudah banyak referensinya, ada kecenderungan terjadi plagiasi, bagaimana supaya terhindar dari plagiarisme? Jangan plagiat! Perbanyak menggali informasi tentang cara mengutip yang benar dan sesuai kaidah penulisan ilmiah serta paraphrasing. Hindari perasaan inferior atau skeptis terhadap tulisan sendiri. Bagus atau tidaknya tulisan kita, biarlah pembaca yang menilai. Selain itu, dengan meningkatkan frekuensi penulisan, lama kelamaan kita jadi terbiasa membaca serta menuangkan ide dari bacaan tersebut pada tulisan. Alah bisa karena biasa.

Sejatinya, pustakawan tidak mungkin tidak berpengetahuan. Lingkungan pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan sumber informasi yang sahih menjadikan pustakawan harus terus menerus upgrade keilmuannya, salah satunya dengan menulis. Menulis adalah salah satu cara untuk mengikat ilmu, mengubah ilmu yang abstrak berada di pikiran untuk ditransfer pada tuan dan puan.  Sebab tanggung jawab menyampaikan kebermanfaatan itu adalah mutlak. Jadi, jangan sampai seperti ayam yang mati di lumbung padi.

The Magical Side of Library : Resensi Singkat Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken

Penulis          : Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup

Penerjemah : Ridwana Saleh
Penerbit        : Mizan
ISBN              : 978-979-433-924-4

The Magic Library atau versi terjemahannya yaitu Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken berkisah tentang dua orang sepupu bernama Nils dan Berit. Nils tinggal di Oslo, sedangkan Berit menetap di Fjaerland. Walaupun sama-sama berlokasi di Norwegia, domisili mereka terpaut ratusan kilometer. Sehingga, setelah pertemuan terakhir di liburan musim panas,  mereka sepakat untuk tetap keep in touch via surat menyurat. Mereka menyebut alat komunikasinya itu “buku-surat”. Anehnya, buku-surat ini diincar oleh seorang wanita misterius yang bernama Bibbi Bokken. Ia menawarkan diri untuk membayar buku-surat itu untuk suatu hal yang erat kaitannya dengan perpustakaan ajaib dan buku-buku yang diterbitkan di dalamnya. Hal ini pun mengundang rasa penasaran Nils dan Berit untuk mengulik siapa sebenarnya Bibbi Bokken dan apa sebenarnya yang diinginkan olehnya.

Dalam buku setebal 284 halaman ini, pembaca diajak untuk berpetualang bersama Nils dan Berit dalam membuka tabir “perpustakaan ajaib” Bibbi Bokken ini. Terdapat banyak insights mengenai hal-hal yang berkaitan erat dengan perpustakaan dan literasi, seperti sejarah mesin percetakan, sistem klasifikasi di perpustakaan, perpustakaan unik di Norwegia, dan lain sebagainya yang menarik untuk diikuti. Melalui cerita yang dinarasikan ketiga tokoh utama dalam buku ini, Gaarder dan Hagerup juga mengajak para pembaca untuk berimajinasi tanpa batas untuk terus meningkatkan kreativitas dan rasa ingin tahu.

Uniknya lagi, buku ini hanya terdiri dari dua bab. Bab yang pertama diberi judul buku-surat, sedangkan bab kedua bertajuk perpustakaan ajaib Bibbi Bokken. Soal terjemahan, kualitas Penerbit Mizan memang sudah tidak diragukan lagi. Pemilihan diksi terjemahan yang apik mempermudah pembaca memahami isi dari buku ini sehingga tidak terasa kalau buku ini merupakan karya terjemahan. Overall, buku ini sangat recommended untuk dibaca, terutama untuk para fantasy-lovers.

Stay productive, stay sane, happy reading! 😊